Diposting oleh
andreas
Selasa, 18 Februari 2014
Dulu
pekerjaanku sebagai buruh tani. Itu ketika masih berumur di bawah 30
tahun. Anakku tiga orang. Semuanya kini sudah berkeluarga. Apapun
pekerjaan di kampung, aku terima untuk menyambung hidup. Yang penting
halal. Suamiku juga sebagai buruh tani, dia nyambi jadi peternak ayam
kampung. Alhamdulillah…, semua diberi kecukupan untuk kebutuhan
sehari-hari. Padahal dulu aku harus menyekolahkan anak-anakku. Semuanya
lulus sekolah menengah. Sekarang usiaku menginjak di atas 40 tahun. Aku
sudah meninggalkan pekerjaan sebagai buruh tani. Aku pindah haluan
sebagai tukang masak para warga kampung saat punya hajat. Semula aku
hanya ikut-ikutan jadi rewang ( tenaga pembantu) saja. Sekarang aku
sudah mandiri. Sekali panggil untuk memasak aku pasang tarif dua ratus
ribu rupiah. Itu untuk dua hari satu malam.
Memasuki bulan
Syawal, biasanya selalu banyak orang punya hajat. Dan itu adalah
bulan-bulan penuh pekerjaan. Jauh-jauh hari orang yang hendak punya gawe
datang ke rumahku. Memastikan tanggal yang kosong. Hampir seluruh angka
di kalender sudah aku lingkari. Hanya ada dua hari saja. Kamis Wage dan
Jum’at Kliwon. Saat bulan puasa seperti ini adalah masa istirahatku
bekerja. Tidak ada orang yang punya hajat nikahan. Untuk mengisi
kekosongan, aku berjualan makanan untuk buka puasa. Kolak pisang,
serabi, bubur candil, lontong, dan lodeh. Di saat aku sedang berjualan
di serambi rumah. Ada pengendara sepeda motor mampir, berboncengan
dengan seorang wanita.
“ Assalamualaikum…., benar ini rumahnya
Bu Siti Alwiyah ?” Sapa perempuan berkerudung kepadaku. Umurnya
kelihatannya sebaya denganku, sekira 40an.
“ Waalaikum salam.., benar mbakyu. Dari mana ? Monggo-monggo.., silahkan, saya sambil jualan ya ?”
“ Tidak apa-apa Bu Siti, saya tahu njenengan repot. Saya sedang
kesulitan mau cari tukang masak bu. Saya disuruh Pak lurah Desa
Ujungsemi untuk mencari tukang masak. Dia mau menikahkan anaknya.”
Sembari aku meladeni pembeli, tetap melanjutkan perbincangan. Kupanggil
anakku Wati mengambilkan kursi, supaya dia bisa duduk.
“ Lha kapan harinya mbakyu ?”
“ Bulan depan, mulai Rabu pon, Kamis wage sampai Jum’at kliwon. Tiga
hari berturut-turut. Pak lurah Wignyo nanggap wayang, serta campur
sari.” Kusembunyikan rasa heranku, tumben saja ada orang mau menikahkan
anaknya di hari yang disebutkan. Di daerahku, itu jarang terjadi.
“ Lha sudah dapat tukang masak berapa mbakyu ?”
“ Itulah Bu Siti.., saya tidak ketemu orang yang mau masak di hari itu.
Padahal ini penting sekali. Pak lurah tidak mau ganti tanggal serta
hari. Ini sudah keputusannya dia Bu Siti.” Ucap wanita itu.
“ Baiklah kalau memang demikian. Saya sanggup, lha alamatnya dimana mbakyu ?”
“ Bu Siti tidak usah kesana sendiri, nanti ada yang menjemput.
Njengenan juga tak perlu repot membawa blender, loyang, mixer dan
lainnya. Semua disediakan sama Pak lurah.”
Selama hampir lima
tahun aku menjalani pekerjaan ini, baru sekali ini ada orang yang mau
menikahkan anaknya di hari tersebut. Baru kali ini juga ada panggilan
masak sampai di lain kecamatan. Ujungsemi masuk wilayah Kecamatan
Kangkung. Di bawah tahun 2000, desa tersebut masih masuk wilayah
Kecamatan Cepiring. Saking luasnya kemudian dipecah menjadi dua.
Cepiring adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Kendal Jawa Tengah.
Berada di pesisir utara Pulau Jawa. Mata pencaharian penduduknya
sebagian sebagai petani. Kendal juga dikenal sebagai penghasil tembakau,
dan padi. Sewaktu masih jaman orde baru, Kendal dikenal sebagi
penghasil gula. Ada pabrik gula peninggalan Belanda di Cepiring, berdiri
sejak tahun 1825.
Waktu yang dijanjikan pun tiba, usai lebaran
selang seminggu, aku dijemput oleh seorang suruhan Pak lurah Wignyo.
Seorang anak muda dengan sepeda motor Honda Supra warna hitam strip
hijau dan merah, menanti di teras.
“ Bu Siti, silahkan bu..,
tidak usah pakai helm. Lewat jalan kampung saja.” Pinta anak laki-laki
itu. Ia mengenalkan diri namanya Setyo, seumuran anakku Wardi yang
paling tua.
“ Iya dik, tidak apa-apa. Lagian kalau malam begini tak bakal ada razia sepeda motor.”
Setelah berpamitan dengan suami dan anak-anak, aku membonceng Setyo.
Cuaca malam begitu cerah, langit malam nampak terang karena cahaya
bulan. Angin kering musim kemarau berhembus. Beberapa desa kulewati,
menempuh jalan satu-satunya ke Desa Ujungsemi. Sebenarnya jarak Desa
Juwiring dengan Ujungsemi tidak begitu jauh. Setyo memotong jalan lewat
Desa Sidomulyo, jalan aspal di desa itu rusak parah. Banyak kendaraan
berat melewati jalan tengah sawah itu. Tidak biasanya saat melewati
kuburan Desa Sidomulyo tengkukku merasa merinding. Padahal sekitar
tempat itu banyak lampu listrik. Kuburan itu berada di pojok desa,
persis di tepi sawah. Berbatasan dengan Desa Kalirejo.
Sepeda
motor Setyo terasa ringan saja saat melewati jalanan berbatu dan rusak
parah. Selama menjadi tukang masak borongan, aku paling jauh menerima
pekerjaan memasak di Kecamatan Cepiring di Desa Botomulyo. Sebenarnya
aku ingin menolak permitaan Pak lurah Wignyo. Meskipun tak ada aturan
resmi, menyelenggarakan pesta pernikahan di bulan Syawal pada tiga hari
pasaran tersebut sungguh pantangan. Sepanjang perjalanan, Setyo sesekali
bicara, itu pun ketika aku tanya.
“ Bu Siti, kita sudah hampir
sampai bu…, paling lima menit lagi.” Tanpa kutanya Setyo berbicara.
Melewati Pasar Kangkung, sesudah itu belok kanan. Keadaan kanan serta
kiri jalan berupa tanaman tembakau yang masih selutut orang dewasa. Tak
berapa lama kemudian kulihat banyak sekali mobil dan sepeda motor parkir
di pinggir jalan. Beberapa mobil sedan mewah juga kelihatan. Meskipun
tidak begitu mengenal, aku yakin Pak Wignyo ini orang yang kaya. Tamunya
banyak sekali
“ Dik Setyo, apa acaranya sudah dimulai ?”
“ Belum bu.., mobil-mobil itu milik keluarga Pak Wignyo datang dari luar daerah Kendal.” Setyo menerangkan.
Rumah Pak lurah begitu megah, berpagar tembok setinggi bahu. Untuk
masuk ke rumahnya harus melewati pintu gapura yang tak kalah megah juga.
Bangunan utama berupa rumah joglo seperti balai desa. Rumah Pak lurah
bagiandinding bagian depan semuanya dilepas. Di desa, orang yang
memiliki rumah joglo dari kayu jati, dipastikan orang yang kaya raya.
“ Dik Setyo, orang desa sini kok pendiam semua ya ?” Aku mulai merasa
ada kejanggalan warga desa Ujungsemi. Sepanjang memasuki pekarangan,
orang-orang yang berpapasan denganku tak ada yang menampakkan wajahnya.
Semuanya menunduk dan tidak bicara satu sama lain.
“ Oh…, itu aturan di rumahnya Pak lurah saja bu. Kalau di luar ya sama saja,” jawab Setyo menerangkan.
“ Saya harus masak mulai malam ini ya Dik Setyo ?”
“ Benar bu.., tapi sebelumnya bapak mau bicara dengan Bu Siti dulu. Mari ke pendopo bu ?”
Di pendopo sudah menunggu seorang laki-laki paruh baya, nampak
berwibawa. Mengenakan pakaian beskap warna hitam. Di sebelahnya seorang
wanita dengan baju kebaya warna hijau, sementara jariknya motif parang
rusak.
“ Monggo.., silahkan duduk Bu Siti. Saya begitu senang sampeyan bisa membantu di rumah saya.”
“ Sama-sama Pak lurah.”
“ Ini sebagai bayaranmu, saya berikan semuanya.” Pak lurah mengulurkan segepok uang kepadaku.
“ Pak, sebaiknya nanti saja kalau pekerjaan sudah selesai, saat saya hendak pulang.”
“ Tidak apa-apa, saya selalu membayar di depan. Kalau sudah selesai
hajatnya mungkin aku tidak sempat memberikan langsung kepadamu.” Baru
kali ini juga aku menerima bayaran sebelum bekerja. Hitunganku kerja
masak kali ini empat hari tiga malam.
“ Pak, apa ini tidak kebanyakan ? Upah masak dua hari satu malam untuk saya hanya dua ratus ribu
Kalau sampai tiga malam bayar enam ratus ribu saja pak ?”
“ Sudahlah.., terima saja Bu Siti. Itu sekaligus sebagai tanda
terimakasih kami kepada sampeyan.” Istri Pak Wignyo menambahi
pembicaraan.
Usai bertemu dengan tuan rumah aku ke halaman
belakang. Semua keperluan memasak telah tersedia. Yang bagian menanak
nasi ada sendiri, pun yang bagian merebus air untuk membuat teh.
Bagianku hanya masak lauk-pauknya saja. Orang-orang di dapur itu tak ada
yang bicara. Tidak seperti biasanya orang rewang. Baik laki-laki dan
perempuan semuanya diam. Aku memasak rendang sapi, oseng-oseng buncis,
mie goreng dan sambal goreng ati. Semuanya aku kerjakan sendiri.
Sementara di halaman luar sudah begitu ramai. Pak lurah nanggap wayang
kulit. Aku mulai sedikit ngantuk, mungkin sudah jam tigaan.
“
Bu kalau ngantuk, minum ini bu. Di kulkas banyak disediakan,” tiba-tiba
Setyo muncul. Menyodorkan tiga botol Kratingdaeng. Memang seperti
kebiasaan saat aku memasak di malam hari. Untuk mengusir kantuk dan
menambah segar badan aku minum Kratingdaeng. Waktu terasa berjalan
begitu lambat. Masakan sudah matang kemudian satu per satu bagian
dimasukkan ke besek ( wadah dari ayaman bambu).
Aku sudah kali
ketiga memasak rendang sapi. Sekali masak menghabiskan enam puluh
kilogram daging sapi. Demikian juga dengan mie goreng, dan lauk-pauk
yang lain. Semuanya ludes tak bersisa. Terasa membosankan juga, berada
dengan orang banyak tapi tak satupun yang bisa diajak bicara. Aku
mencoba berbasa-basi dengan laki-laki yang sedang mengaduk beras
“ Kang…, orang disini semua kok pendiam ya ?”
“ Sudah sejak saya tinggal di kampung ini memang begitu bu. Kalau tidak penting sekali, kami tidak bicara.”
“ Lha memang sampeyan dari desa mana kang ?”
“ Saya dari jauh bu, asli saya Serang Banten. Sudah lima tahun saya mengabdi pada Pak lurah.”
“ Sudah lima tahun ? Disini sampeyan bertani tembakau ? Atau…, “ belum
rampung aku bertanya. Laki-laki itu menjawab pertanyaanku.
“
Saya disini bekerja untuk Pak lurah, pekerjaan saya menanak nasi.
Kebetulan saja, tahun ini Pak lurah sedang mantu ( menikahkan anak ).
Lha ibu kok bisa masuk ke sini bagaimana caranya ?”
Aku merasa
pertanyaan laki-laki tukang masak nasi ini begitu aneh, “ bagaimana
caranya ?” Sambil memblender bumbu masak rendang, aku ceritakan
bagaimana aku dipanggil Pak lurah untuk masak.
“ Waduuuh buu….,
tak sembarangan manusia bisa masuk ke rumah Pak lurah. Apalagi diminta
memasak. Ketahuilah bu.., kami disini semuanya adalah orang buangan.
Semua yang datang hari ini adalah orang-orang yang mati kecelakaan.”
Mendengar penjelasan laki-laki ini aku semakin tidak mengerti.
“
Lihatlah kaki orang-orang itu. Semua tidak ada tumitnya. Hari ini
mereka berkumpul dari seluruh Jawa. Orang-orang yang diundang Pak lurah
semasa hidupnya berlaku keliru. Sebagian dari mereka waktu di dunia
mencari kekayaan dengan pesugihan.”
“ Lho ? Lha kamu sendiri kenapa ?”
“ Saya mati bunuh diri bu, banyak hutang melilit, ditagih banyak orang membuat saya tidak betah hidup.”
“ Masya Allah……, jadi aku sekarang berada dimana ?”
Entah apa yang terjadi, belum sempat menjawab pertanyaanku. Laki-laki
di depanku ini mendadak pucat. Seluruh kulitnnya melepus seperti luka
bakar. Ia berguling-guling di tanah. Dan lampu listrik di rumah Pak
lurah mendadak padam. Aku berusaha mencari sumber cahaya. Kurogoh korek
api yang ada di dalam tas. Sekitarku begitu gelap sekali. Sayang, korek
api di dalam tasku lembab. Aku pelan-pelan berjalan menuju gapura depan.
Berulang kali kakiku menabrak tonggak pohon.
“ Asholatu
khoirun minnan nauuuummmm…..,” sayup-sayup kudengar adzan subuh. Aku
sudah berada di luar gapura rumahnya Pak lurah. Kutoleh lagi rumah Pak
lurah itu, Masya Allah……., rumah joglo kayu jati tidak kutemukan, disitu
berdiri sebatang pohon Kolobin begitu tinggi. Dan pelataran rumah
tersebut adalah kuburan. Segera kupercepat langkah meninggalkan kuburan
itu. Menyusuri jalan aspal ke arah cahaya matahari terbit. Aku sudah di
sekitar Pasar Kangkung, nampak sudah mulai ada orang di pasar kecamatan
itu. Sambil menunggu hari terang, aku ke mushola menunaikan shalat
subuh.
Jam tujuh pagi, aktifitas Pasar Kangkung sudah begitu
ramai. Aku menuju pos ojek, dan meminta diantar pulang ke Juwiring.
Hanya perlu waktu setengah jam saja dari pasar tersebut ke desaku.
Sepanjang jalan menuju rumah, ada pemandangan aneh. Orang-orang
memandangiku dengan tatapan heran. Hingga akhirnya aku tiba di pelataran
rumah, kulihat anakku Suwati sedang menyapu halaman. Dia langsung
memelukku.
“ Buuu…., ibu kemana saja ? Katanya tiga hari ke
Ujungsemi kok sampai sebulan lebih ?” Sesudah masuk rumah aku mulai
bicara. Suami, anak-anakku, serta tetangga memenuhi ruang tamu di rumah.
“ Pak, lha aku juga tidak habis pikir bisa sampai rewang disana.” Kujelaskan kalau selama empat
hari tiga malam aku di rumah Pak lurah Ujungsemi.
“ Bune, sampeyan itu sudah meninggalkan rumah genap empat puluh hari
sejak Rabu pon bulan Syawal lalu. Sekarang sudah Dzulqa’idah. Tetangga
dan keluarga mengira sampeyan sudah meninggal dunia. Tapi aku yakin
sampeyan pasti kembali ke rumah.” Suamiku menceritakan apa yang terjadi
selama aku meninggalkan rumah.
Ternyata selama ini aku diminta
bekerja di alam ghaib. Kuburan Ujungsemi itu dikenal dengan Kuburan
Kemangi. Banyak kejadian aneh dan tidak masuk akal yang pernah terjadi
di Kemangi. Kemudian aku buka tasku.
“ Subhanallah….,” ada
delapan ikat uang pecahan seratus ribu di dalam tasku. Semuanya ada
delapan puluh juta rupiah. Kuminta suamiku menemui Pak Kyai Zaenuri.
Memastikan apa yang sebenarnya menimpaku.Kami berdua ke rumahnya.
“ Pak Durman dan Bu Siti, ini bisa terjadi atas ijin Allah. Sampeyan
sudah diminta bekerja di alam ghaib. Dan uang itu benar-benar upahnya.”
Untuk memastikan keasilan uang pecahan ratusan ribu tersebut, Pak
Zaenuri menggunakan detektor uang kertas. Ia juragan tembakau, harus
mempunyai alat itu “ Berarti sampeyan di kediaman Pak lurah itu sehari
dibayar dua juta rupiah bune,” suamiku menyimpulkan lamanya kepergianku
dengan jumlah uang yang ada di dalam tas.
“ Entahlah pak, aku takut menggunakan uang tersebut.” Aku menimpali suamiku.
“ Sebaiknya,sebagian kau sedekahkan kepada fakir miskin dan yatim
piatu. Uang itu asli bisa dipakai.” Pak Zaenuri meyakinkan kami berdua.
Mengikuti petunjuk Pak Zaenuri, sebagian uang tersebut kami pakai untuk
perbaikan masjid. Menyantuni anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Sedangkan sebagian yang lain kami simpan di bank dalam bentuk deposito.
Akan kami gunakan jika dalam keadaan yang sangat perlu.
Kisah Nyata.
0 komentar:
Posting Komentar