Serat Centhini (dalam aksara Jawa: Serat Centhini), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
1. Raden Ngabehi Ranggasutrasna
2. Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
3. Raden Ngabehi Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.
Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, salat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para pengguh ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.
Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.
Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.
Penulisan kembali Centhini dalam bentuk prosa liris dilakukan oleh Elizabeth Inandiak. Bentuk ini dapat dianggap sebagai interpretasi personal karena terdapat perbedaan dengan bentuk kitab aslinya. Sunardian Wirodono mengubah Serat Centhini menjadi trilogi novel dalam bahasa Indonesia (Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin; Centhini, Perjalanan Cinta; dan Cebolang, Petualang Jalang)
Sumber:wikipedia:
Berikut syair tembang dalam Serat Centhini:
Niyatingsun amiwiti,
tumetes ing mangsi kresna,
amuji maring Hyang Manon,
ingkang asih ing akèrat,
murah gumlar ing dunña,
angganjar kawelas ayun,
angapura mring kang dosa.
Myang muji mring Kangjeng Nabi,
Rasullollah kang mustapa,
utusanira Hyang Manon,
tuhu kekasihing sukma,
ratuning pra ambiya,
myang gustining para Rusul,
ratu agung tanpa sama.
Lawan sabdaning pra wali,
sadaya anuwun berkah,
anglanggengna kekasihé,
mugi Gusti kang kuwasa,
paringa rahmat tuwan,
angungkuli para Rusul,
Jeng Nabi Panutan kita.
Sawusing muji Hyang Widi,
miwah gusti Rasullollah,
lawan para wali kabèh,
arsa medharken carita,
wartaning pra ngulama,
Srat Centhini aranipun,
mangkana ingkang carita.
Bubukaning Srat Centhini,
kang winarna ing lepiyan,
sujanma adi kinaot,
adhudhukuh Wanamarta,
wijiling wong atapa,
tuhu yèn rembesing madu,
sanyata trahing kusuma.
Milané kinarya gurit,
padhukuhan Wanamarta,
wonten èstri ayu kaot,
putrané Gusti Panurta,
ayu ulah agama,
asru bektining Hyang Agung,
peparab Ni Tambangraras.
Ni Tambangraras lara anangis,
ngungkeb-ungkeb anèng pasaréyan,
anungkemi gugulingé,
bantal teles déning luh,
kakungira kaciptèng galih,
lir angawé katingal,
kadya amumundhut,
katon sapari-polahira,
Tambangraras sansaya lara
anangis, sesambaté mlas arsa.
Nengena ing Wanamarta,
wonten kang winarna malih,
kaprajan ing Penataran,
kakandhanganing wong mukti,
bandhung sentana sugih,
kalih sanak sami jalu,
padha bagus prawira,
pratignya ulah ing ngèlmi,
ingkang sepuh awasta Kudasrenggara.
Pepak ingkang kula wangsa,
pan sadaya jalu,
kalawan èstri,
ingkang lenggah munggèng ngayun,
kang aran Ki Nuriman,
lan kadangé Ki Budiman namanipun,
putrané Ménak Padeksa,
jalu kekalih samya lim.
Budiman Nuriman linggih,
anèng sapipining lawang,
kalawan santriné roro,
andhépok pipining lawang,
angadhang wong kang medal,
déné arsa weling atur,
katuju kapasang-yogya.
Lir sinebit talinganira miyarsa,
Kudasrenggara angling,
yèn mangkono kakang,
ing lampah pakenira,
ala ragané tinampik,
ing si Panurta,
liwat amejanani.
Gagakrimang waspada ningali,
lamun sira Ki Kudasrenggara,
sanget angampet dukané,
wasana alon matur,
Gagakrimang swaranya manis,
dhuh ri Kudasrenggara,
ywa ngagangken napsu,
sanadyan poen Ki Panurta,
dèn wastani nampik ugi boya nampik,
katampan ugi ora.
Datan kawarna ing margi,
lampahé Ni Tambangraras,
ningali dhekah aramé,
kumenjyut sajroning nala,
lir winungu kang brangta,
mandheg Sang Retna-yu mangu,
karaos ing priyanira.
Yata ingkang kawarnaa,
lampahé Ni Silabrangti,
tansah anutuh sarira,
tan pegat muji mring widi,
lepas dènnya lumaris,
pringgabaya tan kaétung,
narajang wana wasa,
mung kalung paraning ati,
sun tetedha rineksa-a ing Pangéran.
Ni Centhini dipun pengiringi,
pan sinipat ing wangsit mangkana,
aywa salah tampi anggèr,
ana takèn kadyèku,
solahing wong alul ngabekti,
wonten ujar mangkana,
tan èca karungu,
lah nedha sami dinuga,
sesmitané nanging sampun kaduk tampi,
manira barkahana.
Ki Monthèl umatur aris,
kawula nuhun ing tuwan,
tansah ing salat adegé,
punika asal punapa,
kawula barkahana,
miwah reké lamun rukuk,
punika asal punapa.
Pasang tabé kawula kiyahi,
arsa tanya marang pakenira,
punika pundi wastané,
anyar manira ndulu,
sapa rané ingkang palinggih,
déning asri kawuryan,
Ki Monthèl sumahur,
aran dhekah Wanataka,
Ki Sèh Mangunarsa ya ingkang palinggih,
wahdad jejaka tuwa.
Mangkana Ni Silabrangta,
wastra tambal dèn racuti,
sapanggihé kakungira,
teka mundhak abirahi,
nahan ingkang winarni,
sudarmanira kang kantun,
ing wisma Ki Panurta,
kagagas maca kintèki,
ingkang lunga tan karuwan kang sinedya.
Warnanen wadon Warsiki,
nenun limar nèng paningrat,
dèn sesambi nyongkèt sebé,
kang kiwa anyekel kaca,
awida burat jenar,
asumping angkrèk lan menur,
pupur lembut lelamatan.
Sambat-sambat Ni Rara Warsiki,
swaranira lir sundari kapuwanan,
angrengih arum swarané,
dhuh laé awakingsun,
nora wurung amati brangti,
wadung pari upama,
niyaya wong bagus,
mendhung séta dhuh bendara,
téga temen atilar dasih kaswasih,
baya mring ngendi sira.
Malangkarsa sampun rampung,
dènya areresik srambi,
santrinira kang tumandang,
Malangkarsa anjenengi,
yata kasaru kang prapta,
Jayèngasmara lan rayi.
Gurda agung,
patra geng sami lum-alum,
iku gejawahan,
sanalika patra sami,
ayem-ayem seger paningal manira.
Sareng ndulu,
Sang Dyah lan Sang Malarsantun,
gapyuk rerangkulan,
sadaya prasami nangis,
apan sami oneng-onengan sadaya.
Lakinipun,
Sandyah Amongraga gupuh,
anungkemi pada,
padaning mrasepuh
Jadi, jika kita menganggap Serat Centhini adalah kitab porno jawa, anda simpan dulu penafsiran anda. Banyak hal yang kita kurang tahu, tapi kita tidak mau menelusuri lebih dalam. Budaya Jawa adalah Budaya yang kaya akan keanekaragaman pengetahuan. Dari Ilmu kesaktian sampai ilmu tentang hubungan di kasur.
Salam blogger.
Membuka Tabir Serat Centhini
Diposting oleh
andreas
Selasa, 02 November 2010
Label: realita
0 komentar:
Posting Komentar