BUNGA BANGSAKU

The World Explorer

Mencoba Koneksi Internet Kartu Perdana Aha Di Kendal

Sebenarnya aku sangat malas berkunjung ke Semarang, apalagi ke Matahari Plaza lantai 5. Sebab, aku tidak seperti orang kota sih, tampangku tampang pedesaan. Dengan berbekal rasa penasaranku pada iklan koneksi internet Aha di TV, jadi juga ke Semarang. Dengan ajak teman plus ngasih bensin 2 liter, akhirnya bisa kudapat juga perdana Aha yang super langka di daerah Kendal. Dengan Perdana Mahal Rp 15ribu berisi pulsa lima ribu, kubeli dan ku kantongi.

Tinggal cari modem cdma evdo nya, kucari se antero lantai 5 Matahari swalayan, modem dual frekuensi 800mhz dan 1900 mhz. Takut kalau kecewa kalau pakai paketan dari Aha. Akhirnya kudapat modem Telebit evdo dengan harga murah 375rbu.

Modem ini bisa semua frekwensi cdma kecuali ceria. Setelah kucoba dirumah, ternyata nggak bisa buat voice. Wah sial nih, susah. Akhirnya kucoba mengaktifkan perdana Ahanya. Makin susah, karena pakai sms saja nggak ada respon dari Aha, maupun dari 4444. Pusing....akhirnya aku pakai teman lama yaitu Smart untuk koneksi ke situsnya Aha untuk register dan aktivasinya.

Setelah register dan aktif, kucoba lagi pakai buat koneksi internet. Dan ternyata lumayan juga. Dengan sinyal bar 3-4 cdma 1x kudapat kecepatan sekitar 130kbps, dan ketika sinyal evdo muncul, aku dapat kecepatan 140 kbps.

Ternyata tak seperti yang ku harapkan ya. Hanya segitu di daerahku. Atau mungkin karena jauh dari BTS evdo ya? Wah yang jelas di area Kendal jangan harap koneksi super cepat dari operator seluler....jauh semua dari sinyal evdo, hsdpa, ataupun 3g.

Tapi kalau buat browsing dan sedikit downloding saja, Aha enak juga nih, nyampe 20kbps. Masih lebih cepat dari Smart ( posisi daerah ku ).

Yang aneh dari Aha nih, di paket perdana Aha aku baca "gratis akses internet seharian setelah mengisi pulsa minimal 25 ribu rupiah" kucoba mengisi pulsa 25rb...ternyata masih motong saldo. Busyet....entah kenapa jadi memotong saldo ya?

Wah, masih pakem dan manteb pakai Smart kalau urusan bonus gratisan. Isi pulsa 5orb...langsung dapat sms "internet gratis anda sampai tanggal sekian..."

Alangkah bagusnya kartu Aha itu kalau mudah registrasinya(aktivasinya), mudah cek saldonya, mudah dapetin gratisannya (langsung dapat sms konfirmasi gratisan ketika isi ulang pulsa nilai tertentu), hanya itu kekurangan yang aku dapatkan.


Speed Aha dengan Sinyal EVDO 4 bar, paket standart (time base)





Gambar speed Aha tanpa sinyal EVDO, paket Standart (Time Base)



Aku hanya curhat nih, dan sharing pengalaman. Jangan tuntut aku ya, kalau ada yang salah dari tulisanku ini.

Misteri Kematian Syeikh Siti Jenar Dan Ajarannya


Setuju atau tidak, kehadiran mistik Syekh Siti Jenar telah mewarnai kehidupan mistik Kejawen. Mistik ini memang unik dan banyak menimbulkan kontro versi. Terlebih lagi, ketika Syekh Siti Jenar berbicara tentang Tuhan dan kematian, mungkin dapat mengundang kebencian. Namun, sebagai sebuah wacana kultur mistik kejawen hal ini pun patut diketahui. Ada yang berpendapat bahwa ajarannya termasuk golongan keras, bukan lembut dan sejuk. Dia lebih banyak menyampaikan mistik tajam, bukan lembut.
Berbicara tentang Syekh Siti Jenar dalam konteks mistik memang sering diperdebatkan. Setidaknya, banyak pihak selalu meneror bahwa dia penganut ajaran sesat. Dia menyimpang dari petuah wali. Sementara itu, ada juga yang masih angkat topi terhadap paham mistik dia. Paling tidak, yang setuju ini akan berkilah bahwa Syekh Siti Jenar bukan penganut mistik yang sesat.

Memang, belakangan sempat muncul dua versi kematian Syekh Siti Jenar – yang mengimplikasikan dia berada di pihak yang salah atau benar. Pertama, di kalangan pesantren selalu ditekankan bahwa kematian Syekh Siti Jenar dihukum pancung. Alasan hukuman adalah ajaran dia yang dianggap menyesatkan masyarakat. Kedua, seperti yang pernah dikisahkan Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2002) dan Achmad Chodjim dalam bukunya Syekh Siti Jenar, Makna Kematian (2002) - dia mati karena memilih kematiannya sendiri. Proses semacam itu, senada pula dengan kematian pujangga besar Jawa R. Ng. Ranggawarsita – di satu pihak ada yang mengisahkan dia mati terbunuh dan di lain pihak di mati karena mimilih jalan kematiannya.

Bagi pemerhati mistik kejawen, yang penting bukan pada masalah ajaran Syekh Siti Jenar sesat atau tidak, melainkan perlu dipahami – mengapa Siti Jenar memandang dunia se-bagai “alam kematian”. Sedangkan para Wali Sanga tidak demikian halnya. Inilah tesis mistis Siti Jener yang luar biasa di zamannya. Karena, dia justru telah jenius memikirkan hidup sebagai hakikat. Dia super cerdas dan lebih berpikir tasawuf atau mistis ketimbang berpikir yang lugas.
Mari kita renungkan ajarannya tentang hidup dan kehidupan secara mistis. Dia berpendapat bahwa hidup yang selalu sedih, sengsara, kebingungan, dan sejenisnya adalah penjara. Ini bukan hidup di alam kehidupan, melainkan hidup di alam “kematian”. Manusia yang demikian sedang terpuruk dalam kematian hidup. Manusia yang terdegradasi nilai, yang curang, yang keras, yang korup, dan sebagainya adalah manusia yang telah mati menurut Siti Jenar. Jika demikian, berarti dunia ini telah dipenuhi berjuta-juta mayat yang kotor, bangaki yang amis, dan struktur kehidupan yang mati tak karuan pula. Tak sedikit mayat yang kejar-kejaran mengais rejeki yang haram. Tak sedikit pula mayat yang berebut kedudukan. Apakah asumsi mistis semacam ini sesat???

Dia berpendapat bahwa di era kematian ini, manusia terikat oleh pancaindera. Kondisi ini bukan eksistensi yang sesungguhnya. Hidup nyata baru akan ditemukan setelah mati. Di sana keadaan terang benderang, dan semua hal yang mengandung kebaruan. Manusia tak lagi harus didampingi siapa-siapa. Manusia akan hidup mandiri. Siti Jenar berpandangan bahwa hidup setelah mati lebih indah dan lebih segalanya. Karena itu, dia rindu kematian. Dia sangat rindu terhadap alam real ketika dia belum jatuh ke kematian. Dia ingin kembali dalam keadaan suci atau semula, ketika belum kotor.
Untuk itu, Siti Jenar mengajarkan bahwa hidup manusia akan mengalami proses mistis. Ajaran dia, tersimpul ke dalam lima pokok wejangan, yaitu :

1.Ajaran asal-usul kehidupan atau Sangkan Paraning Dumadi,
2.Ajaran tentang pintu kehidupan,
3.Ajaran tentang tempat manusia esok hari yang kekal dan abadi,
4.Ajaran alam kematian yang sedang dijalani manusia sekarang,
5.Ajarang tentang Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.

Kalau demikan, apakah ajaran dia memang gelap? Tidak. Dari lima jalan kehidupan yang dia ajarkan, jelas positif. Yang menjadi masalah, mengapa dia selalu mendapat “cap merah” ketika itu? Mengapa konteks ajaran demikian membuat wali sanga marah? Pasalnya, ajaran Syekh Siti Jenar yang demikian dianggap tak sejalan dengan ajaran wali.

Kiranya, semua itu yang keliru adalah penerapan mistik Siti Jenar yang disalah artikan. Tak sedikit memang orang yang menerima wejangan dia, lalu berbuat onar, bernuat jelek, bunuh diri, dan seterusnya. Pendek kata, tak sedikit di antara mereka yang segera ingin mati, karena hidup di kelak kemudian hari justru lebih sempurna. Kalau begitu, yang keliru adalah cara menjalani ajaran Siti Jenar, bukan ajaran itu sendiri. Cinta mati kan sebenarnya bagus, tetapi jika mereka segera ingin mati dengan jalan tak wajar, ini yang salah. Padahal, sejauh pemahaman saya, Siti Jenar tak mengajarkan orang harus bunuh diri, ini masalahnya.

Guru Mistik Sejati

Syekh Siti Jenar sesungguhnya tergolong guru midtik yang brilian. Dia guru mistik sejati yang tahu berbagai hal. Dia juga dikenal sebagai guru sekaligus wali yang menyebarkan Islam Jawa di tanah Jawa secara kontekstual. Dasar penyampaian ajarannya adalah realita, karenanya dalam berbagai hal ada yang disesuaikan dengan kondisi Jawa. Karena itu, ketika Ki Ageng Pengging tidak mau sowan ke Demak Bintara sebagai pembangkangan atas ajaran Siti Jenar, peristiwa ini masih perlu ditinjau lagi. Bukankah di dalam karya berjudul Syekh Siti Jenar itu, Ki Ageng Tingkir juga telah mengingatkan secara politis terhadap tindakan Ki Ageng Pengging??

Dalam kaitan itu, Ki Ageng Pengging memang menjadi manusia bebas. Ia hidup di bumi Tuhan, bukan bumi Demak. Paham semacan ini, kalau dipahami secara politis tentu akan keliru. Paham ini perlu diterjemahkan dari aspek mistis bahwa hakikat hidup memang kebebasan itu. Manusia bebas hidup di mana saja. Manusia bebas menentukan apa saja, sejauh dalam kerangka Tuhan. Kalau begitu apakah pandangan Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga itu salah? Tokoh yang semula tergores mistis dalam syair Semut Ireng lalu ada baris berbunyi : kebo bongkang nyabrang kali Bengawan (kerbau besar yaitu Kebokenangan yang menyeberang ke sebelah barat Majapahit), sebenarnya mulia. Dia pernah lari dari Majapahit, karena tak mau mengikuti ajaran yang disampaikan Sabdopalon dan Nayagenggong.

Itulah sebabnya, dengan mengikuti paham Siti Jenar, Ki Kebokenanga tidak taku menghadapi resiko hidup. Hidup bagi dia adalah pilihan. Kematian bagi dia bukan hal yang sengsara, andaikata harus menerima hukuman mati. Bahkan menurut dia, takdir baginya sulit ditunda. Bagi dia, yang selalu dikendalikan Yang Maha Kuasa. Biarpun utusan Demak datang, dia tidak takut menhadapi bahaya. Karena, di situlah dia berjuang untuk hidup. Dalam perjuangan itu, jika selesai tugas kejiwaannya akan segera kembali ke alam aning anung yaitu alam bahagia, tentram, abadi.
Yang menarik lagi dari pandangan dia adalah persoalan belajar (berbudaya). Jika hewan berdasarkan insting, manusia Jawa mengikuti guru. Dalam pandangan Islam Jawa, setidaknya ada empat macam guru :

1.Guru Ujud, yaitu seorang guru biasa, seperti guru di sekolah, guru mengaji, dsb.

2.Guru Pituduh, yaitu guru yang bertugas memberi petunjuk kepada murid-muridnya.

3.Guru Sejati, yaitu guru yang memahami hakikat hidup. Guru ini akan mengajarkan bagaimana menempuh jalan kematian, kesempurnaan, kelepasan.

4.Guru Purwa, yaitu guru yang tertinggi. Ia ibarat manifestasi Tuhan. Dia mengetahui kodrat dan iradatnya.

Tampaknya, Syekh Siti Jenar meletakkan dirinya pada guru sejati dan guru purwa. Hal ini tampak pada pembahasan tentang kematian dia. Masalah proses dan makna kematian, digambarkan dari aspek psikologi Islam Jawa. Proses kematian dan maknanya ditinjau dari aspek kehidupan kejiwaan (psikologi Jawa), manusia harus melepaskan nafs (napas), napas adalah batin (rasa) yang keluar masuk dalam raga. Nafs terdiri dari tujuh tataran kejiwaan, yaitu : jiwa al amarah, jiwa lawwa-mah, jiwa mulhamah, jiwa mutmainah, jiwa spiritual, jiwa lubbi-yyah (kosmik), dan jiwa rahsa (nirwana).

Jiwa al-amarah yang berfungsi mengoperasikan organ tubuh, tak sekedar membuat orang marah. Jiwa lawwamah, yaitu jiwa yang letaknya lebih dalam lagi, lebih halus, yang ketika orang tidur akan menciptakan mimpi yang menembus ruang dan waktu. Jiwa mulhamah yaitu batin manusia yang menyebabkan mereka dapat menerima petunjuk Tuhan. Jiwa mutmainah, yaitu batin manusia yang tenang. Jika ini diaktifkan manusia Jawa akan mampu melihat apa yang disebut clairvoyance, yaitu obyek atau peristiwa di luar fisik (metafisik). Namun, jiwa ini masih bersifat semu, misalkan kenikmatan seksual, misalkan suami impoten atau isteri figrid nyatanya tak diperoleh kenikmatan. Berarti masih lahiriah atau batin semu.

Jiwa spiritual, yaitu batin manusia yang mampu melakukan kontak dengan alam gaib. Dalam masyarakat Jawa, tradisi semacam ini dinamakan alam supena, alam mimpi yang mempengaruhi jiwa manusia mampu menerawang terhadap kejadian mendatang. Batin ini ke arah futuristik atau jangka (ramalan), orang Jawa menyebut ngerti sadurunge winarah. Artinya mengetahui yang bakal terjadi. Misalkan lagi, gerak pikiran (batin) merasa nikmat secara otomatis. Ketika kita harus menganggukkan kepala, menyembah, melambaikan tangan pada saat berhubungan dengan orang lain, adalah wacana batin spiritual. Jiwa lubbiyyah (kosmik), telah meninggalkan alam pikiran, masuk ke alam intuisi. Kehidupan tak dapat selalu melalui kesadaran panca indera. Misalkan saja ketika orang berdzikir atau pun meditasi, mereka merasa hilang, yang ada hanyalah halusinasi dan ilusi. Dari sini orang akan menerima wisik. Jiwa rahsa (nirwana), yaitu keadaan nafs yang melukiskan bahwa alam ini adalah alam langit, alam murni, penuh ketiadaan (sunyaruri).

Begitulah esensi apa yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar, yang kadang-kadang merasakan ketiadaan Tuhan, dan yang ada adalah ingsun (aku). Tapi pada baik lain, dia juga mengakui adanya Tuhan, misalkan kutipan berikut : Syekh Lemahbang darmastuteng karsa / sumarah ing Hyang dhawuhe. Kata Hyang yang merupakan bukti sinkretisme dengan ajaran Hindu, sebenarnya juga menunjukkan bahwa dia percaya kepada Tuhan. Ia pasrah total kepada Tuhan. Pada suatu saat, dia memang meremehkan sarengat dan pada bait lain juga menganggap sarengat itu penting dan seterusnya.

Tegasnya, ajaran Syekh Siti Jenar masih merupakan teka-teki. Kemungkinan adanya rekayasa kultural dan politisasi ajaran juga sangat mungkin. Maka, pemahaman menyeluruh ajaran dia memang perlu, guna menyelami hakikat Islam Jawa.
Tampaknya, bagi dia ajaran memang diramu dengan mistik kejawen. Jika ajaran ini dipahami sepenggal, maka orang awam akan menyatakan dia musyrik. Padahal, bagi dia hidup adalah proses untuk menemukan “ananeng, ananing, uninung, uninang”. Artinya, hidup untuk mencari kejernihan batin. Hidup untuk mencari dunung (tujuan). Tujuan hidup akan tercapai melalui sangkan paraning dumadi. Ini paham Islam Jawa yang selalu menjadi misterius.

Sumber:
Dikutip dari Buku Mistik Kejawen oleh Suwardi Endraswara.
http://alangalangkumitir.wordpress.com

Apapun maknanya hidup, harus dijalani. Apapun sebenarnya kehidupan ini, pasti kita akan melintasi. Dan apapun hakekat hidup itu, pasti kita semua kembali kepada Nya...

Tapi bukan berarti hidup itu harus berbuat jahat, bunuh diri, memperkosa, ataupun kejahatan lainnya. Tapi Kita harus punya pedoman....Pedomannya adalah kitab yang diturunkan dari Sang Pencipta...

Membuka Tabir Serat Centhini


Serat Centhini (dalam aksara Jawa: Serat Centhini), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.

Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.

Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).

Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.

Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:

1. Raden Ngabehi Ranggasutrasna
2. Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
3. Raden Ngabehi Sastradipura

Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.

R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.

Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.

Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.

Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.

Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.

Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.

Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual", karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.

Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.

Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, salat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.

Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.

Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.

Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang "ortodoks" bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para pengguh ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara "sinkretik" seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya "heroisme" dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.

Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.

Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.

Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.

Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.

Penulisan kembali Centhini dalam bentuk prosa liris dilakukan oleh Elizabeth Inandiak. Bentuk ini dapat dianggap sebagai interpretasi personal karena terdapat perbedaan dengan bentuk kitab aslinya. Sunardian Wirodono mengubah Serat Centhini menjadi trilogi novel dalam bahasa Indonesia (Centhini, 40 Malam Mengintip Sang Pengantin; Centhini, Perjalanan Cinta; dan Cebolang, Petualang Jalang)

Sumber:wikipedia:

Berikut syair tembang dalam Serat Centhini:

Niyatingsun amiwiti,
tumetes ing mangsi kresna,
amuji maring Hyang Manon,
ingkang asih ing akèrat,
murah gumlar ing dunña,
angganjar kawelas ayun,
angapura mring kang dosa.

Myang muji mring Kangjeng Nabi,
Rasullollah kang mustapa,
utusanira Hyang Manon,
tuhu kekasihing sukma,
ratuning pra ambiya,
myang gustining para Rusul,
ratu agung tanpa sama.

Lawan sabdaning pra wali,
sadaya anuwun berkah,
anglanggengna kekasihé,
mugi Gusti kang kuwasa,
paringa rahmat tuwan,
angungkuli para Rusul,
Jeng Nabi Panutan kita.

Sawusing muji Hyang Widi,
miwah gusti Rasullollah,
lawan para wali kabèh,
arsa medharken carita,
wartaning pra ngulama,
Srat Centhini aranipun,
mangkana ingkang carita.

Bubukaning Srat Centhini,
kang winarna ing lepiyan,
sujanma adi kinaot,
adhudhukuh Wanamarta,
wijiling wong atapa,
tuhu yèn rembesing madu,
sanyata trahing kusuma.

Milané kinarya gurit,
padhukuhan Wanamarta,
wonten èstri ayu kaot,
putrané Gusti Panurta,
ayu ulah agama,
asru bektining Hyang Agung,
peparab Ni Tambangraras.

Ni Tambangraras lara anangis,
ngungkeb-ungkeb anèng pasaréyan,
anungkemi gugulingé,
bantal teles déning luh,
kakungira kaciptèng galih,
lir angawé katingal,
kadya amumundhut,
katon sapari-polahira,
Tambangraras sansaya lara
anangis, sesambaté mlas arsa.

Nengena ing Wanamarta,
wonten kang winarna malih,
kaprajan ing Penataran,
kakandhanganing wong mukti,
bandhung sentana sugih,
kalih sanak sami jalu,
padha bagus prawira,
pratignya ulah ing ngèlmi,
ingkang sepuh awasta Kudasrenggara.

Pepak ingkang kula wangsa,
pan sadaya jalu,
kalawan èstri,
ingkang lenggah munggèng ngayun,
kang aran Ki Nuriman,
lan kadangé Ki Budiman namanipun,
putrané Ménak Padeksa,
jalu kekalih samya lim.

Budiman Nuriman linggih,
anèng sapipining lawang,
kalawan santriné roro,
andhépok pipining lawang,
angadhang wong kang medal,
déné arsa weling atur,
katuju kapasang-yogya.

Lir sinebit talinganira miyarsa,
Kudasrenggara angling,
yèn mangkono kakang,
ing lampah pakenira,
ala ragané tinampik,
ing si Panurta,
liwat amejanani.

Gagakrimang waspada ningali,
lamun sira Ki Kudasrenggara,
sanget angampet dukané,
wasana alon matur,
Gagakrimang swaranya manis,
dhuh ri Kudasrenggara,
ywa ngagangken napsu,
sanadyan poen Ki Panurta,
dèn wastani nampik ugi boya nampik,
katampan ugi ora.

Datan kawarna ing margi,
lampahé Ni Tambangraras,
ningali dhekah aramé,
kumenjyut sajroning nala,
lir winungu kang brangta,
mandheg Sang Retna-yu mangu,
karaos ing priyanira.

Yata ingkang kawarnaa,
lampahé Ni Silabrangti,
tansah anutuh sarira,
tan pegat muji mring widi,
lepas dènnya lumaris,
pringgabaya tan kaétung,
narajang wana wasa,
mung kalung paraning ati,
sun tetedha rineksa-a ing Pangéran.

Ni Centhini dipun pengiringi,
pan sinipat ing wangsit mangkana,
aywa salah tampi anggèr,
ana takèn kadyèku,
solahing wong alul ngabekti,
wonten ujar mangkana,
tan èca karungu,
lah nedha sami dinuga,
sesmitané nanging sampun kaduk tampi,
manira barkahana.

Ki Monthèl umatur aris,
kawula nuhun ing tuwan,
tansah ing salat adegé,
punika asal punapa,
kawula barkahana,
miwah reké lamun rukuk,
punika asal punapa.

Pasang tabé kawula kiyahi,
arsa tanya marang pakenira,
punika pundi wastané,
anyar manira ndulu,
sapa rané ingkang palinggih,
déning asri kawuryan,
Ki Monthèl sumahur,
aran dhekah Wanataka,
Ki Sèh Mangunarsa ya ingkang palinggih,
wahdad jejaka tuwa.

Mangkana Ni Silabrangta,
wastra tambal dèn racuti,
sapanggihé kakungira,
teka mundhak abirahi,
nahan ingkang winarni,
sudarmanira kang kantun,
ing wisma Ki Panurta,
kagagas maca kintèki,
ingkang lunga tan karuwan kang sinedya.

Warnanen wadon Warsiki,
nenun limar nèng paningrat,
dèn sesambi nyongkèt sebé,
kang kiwa anyekel kaca,
awida burat jenar,
asumping angkrèk lan menur,
pupur lembut lelamatan.

Sambat-sambat Ni Rara Warsiki,
swaranira lir sundari kapuwanan,
angrengih arum swarané,
dhuh laé awakingsun,
nora wurung amati brangti,
wadung pari upama,
niyaya wong bagus,
mendhung séta dhuh bendara,
téga temen atilar dasih kaswasih,
baya mring ngendi sira.

Malangkarsa sampun rampung,
dènya areresik srambi,
santrinira kang tumandang,
Malangkarsa anjenengi,
yata kasaru kang prapta,
Jayèngasmara lan rayi.

Gurda agung,
patra geng sami lum-alum,
iku gejawahan,
sanalika patra sami,
ayem-ayem seger paningal manira.

Sareng ndulu,
Sang Dyah lan Sang Malarsantun,
gapyuk rerangkulan,
sadaya prasami nangis,
apan sami oneng-onengan sadaya.

Lakinipun,
Sandyah Amongraga gupuh,
anungkemi pada,
padaning mrasepuh

Jadi, jika kita menganggap Serat Centhini adalah kitab porno jawa, anda simpan dulu penafsiran anda. Banyak hal yang kita kurang tahu, tapi kita tidak mau menelusuri lebih dalam. Budaya Jawa adalah Budaya yang kaya akan keanekaragaman pengetahuan. Dari Ilmu kesaktian sampai ilmu tentang hubungan di kasur.

Salam blogger.

Mengingat Dahsyatnya Letusan Gunung Galunggung


Gunung Galunggung masuk dalam jajaran gunung paling berbahaya di Indonesia. Bulan ini, aktivitas gunung yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, itu kembali meningkat.

Meski aktivitas Galunggung tidak sesering Merapi di Yogyakarta atau Krakatau di Selat Sunda, namun sejarah mencatat, gunung ini pernah merenggut lebih dari 4.000 jiwa dalam erupsi pada Oktober 1822. Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) mencatat Galunggung sudah meletus sebanyak empat kali.

Pada 1822, Galunggung melepaskan material vulkanik seperti butiran pasir kemerahan bersuhu sangat panas, abu halus, awan panas, serta lahar mengalir mengikuti aliran sungai yang bergerak ke arah tenggara. Tak heran jika letusan dahsyat itu merenggut hingga 4.011 jiwa dan meluluhlantakkan 114 desa.

Dampak letusan juga dirasakan pada radius 40 kilometer ke arah timur dan selatan dari puncak gunung.

Pada 7 Oktober 1894, gunung yang memiliki ketinggian 2.168 di atas permukaan laut (dpl) ini kembali “batuk” diikuti dengan muntahan awan panas yang menghancurkan sekira 50 desa. Pada 27 Oktober, sempat terjadi aliran lahar panas yang serupa dengan letusan pada 1822.

Letusan ketiga, dimulai pada 16 Juli 1918 yang menghasilkan hujan abu dengan ketebalan dua sampai lima milimeter. Letusan yang diawali dengan gempa bumi ini terjadi selama empat hari. Letusan menghasilkan kubah lava di dalam danau kawah setinggi 85 meter. Kubah lava ini kemudian dinamakan gunung jadi.

Terakhir, Gunung Galunggung meletus pada 1982. Dalam catatan Teknik Geodesi ITB, ini merupakan letusan Galunggung terlama yaitu sembilan bulan. Galunggung meletus mulai 5 April 1982 hingga 8 Januari 1983.

Letusan saat itu disertai dengan dentuman keras, pijaran api, serta kilatan halilintar dan merenggut 18 korban jiwa. Tak hanya itu, erupsi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar, karena selama sembilan bulan warga harus meninggalkan aktivitas pertanian. Warga di 22 desa, harus meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi.

Letusan juga mengakibatkan perubahan peta wilayah di radius 20 kilometer dari puncak Galunggung. Wilayah yang masuk dalam perubahan pemetaan adalah Kecamatan Indihiang, Kecamatan Sukaratu, dan Kecamatan Leuwisari. Ini disebabkan terputusnya jalan dan aliran sungai karena diterjang lahar dingin berupa bebatuan.

Pada Oktober 2010 ini, Galunggung menunjukkan peningkatan aktivitas. Jika September lalu hanya tercatat empat kali gempa vulkanik, bulan ini Oktober ini sudah tercatat 34 kali gempa.

Apa jadinya ya, kalau semua gunung di Indonesia meletus bersama sama? semoga itu tak terjadi. Kita ambil hikmahnya. Bahwa kita dan semua yang kita punya ini hanyalah pinjaman dan harus dikembalikan pada yang punya.

Edit dari :okezone.com

Pengikut